Oleh: Fauzi As
Negara sedang rajin bekerja. SKK Migas dan PT Kangean Energy Indonesia (KEI) mereka turun ke laut.
Bukan untuk memancing ikan, tapi memancing harapan. Harapan untuk menambal APBN yang bolong, menambang migas dari perut laut Kangean.
Apa salah negara mencari pemasukan? Tentu tidak. Tapi apakah caranya harus dengan mengguncang dasar laut dan perasaan warga sekaligus?
Itu baru menarik untuk dibahas.
Survei Seismik 3D sedang disiapkan di perairan dangkal West Kangean, Sumenep.
Katanya sih demi kemajuan, demi “mengevaluasi prospek lapangan migas baru.” Tapi buat warga Kangean, ini seperti meminjam gelas lalu membawa seluruh isi dapur.
Bukan kisah fiksi, sejak zaman Pagerungan 1985, yang dieksplorasi adalah harapan, dan yang dieksploitasi adalah kesabaran rakyat kepulauan.
Dari sisi negara, ini penting. Produksi migas menurun. Cadangan menipis. Uang terus dicetak, tapi sumur minyak tak bertambah.
Maka dicari cadangan baru, dan Kangean, seperti biasa, jadi ‘target potensial.
Potensial untuk siapa? sayangnya selalu potensial untuk diperas, bukan dinikmati oleh penduduknya.
Tapi mari kita tenang sejenak. Jangan cepat terprovokasi. Jangan pula langsung menolak semua program Migas.
Mungkin saja, negara kali ini betul-betul ingin baik. Mungkin saja KEI ingin menjaga lingkungan.
Mungkin juga mereka hanya sedang menyiapkan kejutan yang belum diumumkan. Jalan beraspal sampai pesisir, atau listrik menyala lebih dari 12 jam. Mungkin.
Namun suara masyarakat tidak boleh dikecilkan. Ahmad Sayuti dari Lakpesdam NU dan Fadli dari Pemuda Muhammadiyah telah menyuarakan kekhawatiran.
Katanya, laut bukan sekadar ruang ekonomi. Tapi ruang hidup, ruang budaya, tapi juga ruang trauma berkepanjangan.
Apalagi di Kangean, kenangan buruk itu bukan dongeng. Ketika gas dan minyak keluar, warga malah keluar negeri. Ketika rakyat dibantu kapal besar, namun ibu hamil tetap lahir di dalam perahu kecil.
Ketika rig berdiri, rumah warga justru runtuh ekonominya. Bahkan kata Fadli, “Kami tidak anti pembangunan.” Tentu.
Siapa juga yang anti pembangunan, asal pembangunan itu bukan hanya untuk mereka yang datang dari luar dengan mobil dinas dan pulang dengan laporan manis.
Namun, kita juga harus jeli: Siapa yang berdiri paling depan menolak?
Apakah mereka betul-betul menolak karena cinta lingkungan?
Atau karena ingin mengatur ulang tawar-menawar di belakang layar?
Jangan sampai rakyat jadi barisan depan, tapi kontraknya tetap ditandatangani diam-diam oleh mereka yang berjas tapi tak berbaju nurani.
Ini penting! Jangan sampai aspirasi murni rakyat ditunggangi elite lokal yang ingin menjual penolakan di pagi hari, lalu menyepakati proyek di malam hari.
Maka, mari kita ajukan syarat:
• Survei Seismik? Boleh. Tapi audit dulu jejak yang lama.
• Pembangunan? Setuju. Tapi libatkan warga dalam pengambilan keputusan.
• Pendapatan negara? Sah. Tapi jangan jadikan masyarakat hanya sebagai penjaga pagar lokasi pengeboran.
Dan untuk semua pihak yang sekarang tampil vokal: jangan sekadar nyaring di mikrofon, tapi diam ketika diberikan jatah.
Kalau menolak, tolak dengan terang. Kalau mendukung, dukung dengan akal sehat.
Jangan jadi pejuang yang ujungnya hanya ingin jadi rekanan.
Negara butuh pemasukan. Tapi rakyat butuh kejelasan. Migas adalah milik bersama, bukan milik pemodal yang datang lima tahun sekali.
Maka jangan biarkan seismik mengguncang kepercayaan, dan jangan biarkan tanah Kangean hanya jadi kisah tentang minyak yang tak pernah jadi milik penduduknya.
Terakhir pesan pada saudaraku di Kangean, kadang di dalam barisan idealisme masyarakat, ada manuver diam-diam elite lokal yang hanya bisa dideteksi oleh nurani dan sedikit akal.