Oleh: Fauzi As
Konon katanya Bea Cukai adalah garda depan penerimaan negara. Tugas mulia mereka adalah memastikan setiap rupiah dari cukai rokok mengalir ke kas negara, demi pembangunan yang katanya untuk rakyat.
Tapi di lapangan, rakyat justru sering merasa Bea Cukai lebih cocok disebut malaikat pencabut nyawa industri rokok lokal.
Berita-berita penindakan rutin disiarkan, lengkap dengan jargon “penyelamatan penerimaan negara” yang seakan-akan menjadi mantra sakti. Padahal, siapa yang diselamatkan? Negara? Atau hanya citra lembaga yang sedang kehausan tepuk tangan?
Lucunya, begitu menyangkut rokok impor ilegal yang sudah jelas membanjiri Jawa Timur, Oris, Manchester, Magnate, Esse, Smith, dan Luffman, mata Bea Cukai mendadak rabun jauh.
Entah karena kebanyakan menatap data di layar, atau memang sengaja pura-pura tidak melihat.
Padahal, rokok-rokok asing itu bukan lahir dari rahim bumi Madura. Mereka datang dari jauh: Uni Emirat Arab, United Kingdom, Swiss, Korea Utara, sampai Vietnam.
Pertanyaannya sederhana: apakah mungkin barang-barang itu bisa masuk tanpa koordinasi dengan Bea Cukai?
Mustahil. Yang lebih mungkin adalah ada “pintu” yang sengaja dibukakan, dan ada “kunci” yang tidak pernah hilang dari saku oknum tertentu.
Bea Cukai Menjelma Malaikat Lokal dan Tuhan Global
Di hadapan rokok lokal, Bea Cukai berperilaku bak malaikat maha tahu. Rokok disembunyikan di gudang desa, ketahuan.
Rokok ditaruh di bawah tumpukan gabah, terbongkar. Rokok dibawa dengan mobil tua, disergap. Seolah-olah mereka memiliki radar khusus untuk mencium aroma tembakau rakyat.
Namun, di hadapan rokok asing, Bea Cukai seakan berubah wujud. Dari malaikat pencabut nyawa menjadi dewa pelindung kapital global.
Negara lebih bersemangat menuhankan perusahaan luar negeri ketimbang membina rakyatnya sendiri.
Logikanya sederhana: rokok impor bisa masuk ribuan karton tanpa riak, sementara rokok lokal yang jumlahnya hanya beberapa bal selalu jadi sasaran tembak.
Negeri ini benar-benar punya bakat unik: membunuh rakyatnya sendiri, sambil menyanjung orang asing dengan karpet merah.
Drama Alphard dan Sandiwara Penindakan
Supaya terlihat gagah, Bea Cukai memamerkan penindakan rokok ilegal di Kediri. Katanya, kali ini rokok diangkut dengan mobil Alphard. “Biasanya pakai L300 atau ELF, sekarang pakai mobil mewah,” kata pejabatnya dengan penuh bangga.
Seolah-olah publik harus terperangah: wow, mafia rokok ilegal sudah naik kelas! Padahal, apakah rakyat peduli rokok ilegal diangkut dengan Alphard atau becak motor? Yang rakyat tahu, rokok lokal tetap saja diganyang habis-habisan, sementara importir asing bebas berpesta pora.
Kasus Alphard, kasus salah peruntukan pita cukai, kasus salah personalisasi semua itu seperti sandiwara mingguan. Jalan ceritanya sama, aktornya bisa ganti, tapi ending-nya selalu sama: penindakan jadi berita, rakyat percaya, sementara masalah pokoknya tidak pernah selesai.
Di balik layar, siapa yang membiarkan kontainer rokok asing menyeberang laut dan melintas perbatasan?
Siapa yang menutup mata ketika rokok-rokok dari Uni Emirat Arab atau Vietnam mendarat manis di pasar-pasar Jawa Timur?
Pertanyaan ini tidak pernah dijawab.
Mungkin karena jawabannya terlalu pahit untuk ditelan.
Negara Membakar Dapur Rakyat
Ketika negara terlalu sibuk memburu rokok lokal, jangan salahkan jika rakyat marah lalu bakar-bakar di jalan. Apa lagi yang tersisa bagi mereka?
Petani kehilangan harga, pengusaha kecil kehabisan modal, buruh rokok menunggu giliran PHK.
Sementara itu, pejabat Bea Cukai tersenyum di depan kamera, bangga memamerkan tumpukan barang bukti hasil penindakan.
Bagi mereka, itu statistik keberhasilan. Bagi rakyat, itu berita kematian dapur mereka.
Negara tampaknya lupa bahwa setiap batang rokok lokal bukan sekadar produk, melainkan denyut ekonomi desa. Ia menghidupi petani tembakau, peracik rokok rumahan, hingga pedagang kecil di warung-warung kampung.
Tapi alih-alih dibina, mereka justru ditindas.
Alih-alih diberi jalan keluar, industri rokok lokal dipaksa mati perlahan. Bea Cukai sibuk dengan jargon “penertiban”, tanpa pernah serius menawarkan jalan “pembinaan”.
Mungkin, dalam kamus mereka, pembinaan hanyalah istilah basa-basi dalam presentasi PowerPoint.
Mungkin kelak Bea Cukai akan merasa lebih bangga jika semua rokok lokal musnah. Dengan begitu, yang tersisa hanyalah rokok impor dengan pita cukai sepi dan laporan penerimaan negara yang tampak indah di atas kertas.
Namun di balik angka-angka itu, yang hancur adalah perut rakyat. Yang mati adalah dapur-dapur petani. Yang padam adalah harapan buruh rokok kecil yang tidak pernah tahu cara mengepak barang dengan Alphard.
Negeri ini memang ajaib. Rakyatnya dibunuh dengan aturan, orang asing dituhankan dengan kelonggaran. Dan Bea Cukai, alih-alih jadi garda depan penerimaan negara, justru menjelma jadi garda terdepan penindasan rakyat sendiri.

















