Oleh: Nur Khalis
SuaraMadura.id – Hampir sepekan catatan ini saya biarkan. Namun setelah mendengar kata kleptokrasi, berkali-kali, di sebuah warung makan, saya membaca kembali tiga paragraf yang sebelumnya sudah selesai menjadi catatan.
Kata kleptokrasi, pertama kali saya dengar dari seorang guru sosiologi di Madrasah Aliyah. Dan di tahun-tahun selanjutnya, saat mendengar berita tentang korupsi, para penggiat anti rasuah selalu mendengungkannya.
ICW misalnya, selalu meyakini bahwa tingginya korupsi disebabkan oleh kleptokrasi akut para penguasa. Dalam satu tahun, rata-rata 30 pejabat negara, mulai dari pusat hingga daerah terjerat “penyakit” yang lumrah itu.
Dalam banyak referensi, kleptokrasi disebutkan berasal dari bahasa Yunani. ”Kleptes” senada dengan makna maling dan “kratos” merupakan bentuk administrasi publik.
Secara sederhana, kleptokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mengambil uang yang berasal dari rakyat. Baik untuk memperkaya kelompok tertentu atau dirinya sendiri.
Tahun 1966, Stanislav Andreski memaknainya sebagai tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang (seolah) menjadi haknya.
Dalam belantara kekuasaan, kleptokrasi seperti menjadi dalih pembenaran untuk semua, maaf, kebejatan yang kekuasaan lakukan. Kleptokrasi menjadi legitimasi untuk menjadikan rakyat sebagai korban kerakusan.
Dan sekitar sepekan lalu, sekretaris daerah Kabupaten Sumenep, Edy Rasyadi, menggelar resepsi pernikahan. Namun cerita yang mengemuka dan mengejutkan, dia menolak segala bentuk pemberian dari semua yang diundang.
Sebelum panjang lebar, saya ingin menceritakan, kenapa catatan ini sempat saya hentikan. Pertama, saya tidak ingin terjebak dalam serangkaian cerita masa lalu saat kekuasaan merayakan kebahagiaan. Termasuk dalam pernikahan.
Kedua, saya juga tidak ingin catatan ini menjadi legitimasi hiperbolis pada seorang pemangku kekuasaan. Terlebih hanya karena dia tidak empati pada tali asih para undangan yang datang. Saya tidak ingin itu.
Namun begitu, sepekan kemudian, anomali ini tetap layak dipertanyakan. Anomali yang terkesan baik ini, sesekali perlu dihadapi dengan kecurigaan.
Kita tahu, Edy Rasyadi berada dalam lingkaran kekuasaan. Saat ia menolak seluruh tali asih dalam pernikahan, apa yang sebenarnya ingin dia tunjukkan?
Apakah ini adalah cara dia untuk mengeluhkan kerja gelap kekuasaan? Atau di hari yang bahagia, dia tidak ingin terjebak dalam serangkaian prasangka dalam “kebaikan” yang diterima dari sejawat, kolega atau bawahannya?
Mungkin saja, dalam kebahagiaan yang sedang dirayakan, dia tidak ingin direcoki oleh “kebaikan” lain yang mengundang kekhawatiran. Jika umpama pesilat, Edy Rasyadi sedang mengeluarkan ilmu kanuragan yang membuat roda kekuasaan bertanya-tanya. Mengapa demikian?
Sebab, bisa saja, setiap pejabat dan bawahan yang dibesarkan di rezim kleptokrasi, beranggapan bahwa sikap Edy Rasyadi yang “menutup diri” terkesan berlebihan sekali.
Atau mungkin saja Edy Rasyadi ingin menghindari kleptokrasi yang membabi buta. Dan layaknya setitik susu, keputusan itu telah menciderai racun sebelanga. Di momen inilah, Edy Rasyadi berada dalam pusaran prasangka.
Tentu, saya akan tetap skeptis atas pilihan sikapnya di hari bahagia itu. Tapi sebagai fakta, pejabat lain seharusnya meniru. Sebab kleptokrasi hanyalah kebenaran yang semu.
Gapura,
25 September 2022