SuaraMadura.id – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sumenep, Madura, tengah mendapat sorotan. Sebab diduga memaksakan diri untuk melakukan pengukuran terhadap tanah yang didiami oleh Kodim 0827.
Adapun pihak yang mengajukan permohonan pengukuran untuk selanjutnya diproses penerbitan sertifikat tanah partikelir tempat Kodim 0827 bermarkas yakni, perkumpulan Wakaf Tanah Panembahan Sumolo (WTPS).
Kepada Harian Bangsa, RB Agus Irianto selaku Sekretaris WTPS mengatakan, menjadi dasar kepemilikan pihaknya adalah sebuah prasasti di Kraton Sumenep.
Dalam Prasasti yang bertuliskan Arab Pegon itu menjelaskan jika di wilayah perkotaan Sumenep terdapat tanah wakaf Kraton Sumenep dan pesan dari Panembahan Sumolo agar dirawat, dijaga, tidak dijual dan diwariskan.
“Tolong penjelasan ini jangan dipotong-potong agar tidak menimbulkan fitnah, agar masyarakat paham,” pinta Agus Irianto seraya menjelaskan sejumlah titik lahan yang menjadi bagian wakaf dari Panembahan Sumolo.
Sementara Dandim 0827 Sumenep, Letkol Czi Donny Pramudya menegaskan jika dirinya menolak secara tegas rencana pengukuran bidang tanah milik kantornya tersebut.
“Pada intinya kami menolak tegas rencana itu karena kami memiliki kewajiban untuk menjaga aset,” tegasnya kepada sejumlah media, Sabtu (13/8).
Ketua Karang Taruna Kabupaten Sumenep, Nurahmat yang kerap dijuluki Profesor Tanah karena pemahamannya terhadap permasalahan-permasalahan seputar bidang agraria memberikan komentarnya.
Menurutnya, status lahan yang kini jadi polemik antara WTPS, Kodim 0827 dan BPN Sumenep sebenarnya ialah tanah partikelir yang telah dihapus kedudukannya sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
“Dalam undang-undang itu jelas, tanah partikelir menjadi Eigendom, bahasa Belanda-nya, yang berarti hak milik tetap atas tanah jika ada Verponding, istilah sekarang Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB),” jelasnya. Selasa (16/8).
Selanjutnya, ia menerangkan, eigendom harus dikonversi menjadi jenis hak atas tanah seperti yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Meski demikian, aktivis yang tergabung dalam Bara JP itu mengatakan, masih banyak orang yang belum mengetahui hal ini dan terlibat dalam sengketa tanah yang masih berstatus eigendom.
Nurahmat menambahkan, tanah dengan hak eigendom sangat rentan menjadi tanah sengketa karena memiliki waktu yang panjang dan belum ada kekuatan hukum yang mengikat pemegang hak yang sebenarnya.
“Setelah pemberlakuan UUPA, tiap orang wajib melakukan konversi hak atas eigendom-nya menjadi hak milik, paling lambat pada 24 September 1980,” ujarnya.
Akan tetapi, pengurusan konversi eigendom tetap masih bisa dilakukan. “Tentunya dengan dokumen-dokumen yang jelas, bisa ke kantor pertanahan setempat untuk proses lebih lanjut,” pungkasnya.
Eigendom atas tanah berasal dari sistem hukum perdata barat, sedangkan UUPA ditujukan sebagai hukum agraria nasional yang berbeda dengan hukum sebelumnya. Hal ini menjadi alasan mengapa eigendom harus segera dikonversi.
Niscaya polemik mengenai rencana pengukuran lahan Kodim 0827 oleh BPN yang jadi topik hangat berbagai kalangan masyarakat Sumenep, bukan hanya bagi keluarga bangsawan itu tidak akan terjadi.