SuaraMadura.id – Kurang lebih tiga puluh tahun kekayaan alam gas bumi di wilayah Kepulauan Sapeken, Sumenep, Madura, disedot perusahaan Migas multi nasional. Sebentar lagi, Kepulauan Raas juga akan dieksploitasi habis-habisan.
Tetapi sayang seribu sayang. Kehadiran perusahaan Migas di Kepulauan Sumenep tak membuat masyarakatnya merasakan kesejahteraan, menikmati aliran listrik 24 jam saja menjadi sebuah kemustahilan.
Sabtu pagi, 15 Oktober 2022 ratusan warga Desa Pagerungan Kecil menggeruduk gedung PLN yang hanya mampu melayani 500 pelanggan secara bergantian setiap harinya, dari 1.600 rumah yang dihuni enam ribu delapan ratus lima puluh jiwa.
Tuntutan mereka satu. Aliran listrik 24 jam tiap harinya, bukan satu jam di pagi hari dan sejam lagi di malam hari. Perjuangan yang tidak mudah karena mereka telah dimiskinkan dalam rentang waktu puluhan tahun.
Pada medio 2009 penulis pernah merasakan bagaimana aliran listrik setengah hati di Desa Sapeken, alias hanya menyala kala mentari akan tenggelam dan sudah padam kembali di saat sang surya masih enggan terbit.
Tetapi kini, pusat pemerintahan Kecamatan Sapeken itu sudah bisa berleha-leha karena aliran listriknya sudah 24 jam. Nahas bagi Desa Pagerungan Kecil yang belum mendapatkan perlakuan yang sama.
Padahal pulau tempat warga Desa Pagerungan Kecil berpijak termasuk kedalam area ring satu kegiatan produksi perusahaan Migas Kangean Energy Indonesia Ltd (KEI).
Setali tiga uang. Kepulauan Raas yang menjadi titik baru pengeboran gas alam perusahaan Migas internasional yaitu, Husky CNOOC Madura Limited disingkat HCML juga masih belum merdeka energi listrik, hanya 12 jam per harinya.
Bukan tidak mungkin masyarakat Kepulauan Raas akan mengalami seperti apa yang dialami warga Desa Pagerungan Kecil. Puluhan tahun KEI beroperasi, mereka tetap dimiskinkan dari energi listrik yang kini telah menjadi kebutuhan utama.
Koordinator Aliansi Progresif Sumenep, Suyitno mengatakan, kekayaan alam Kabupaten Sumenep khususnya di sektor minyak dan gas merupakan salah satu karunia Tuhan yang patut disyukuri.
“Namun munculnya kekhawatiran dari berbagai elemen masyarakat akan dampak buruknya terhadap lingkungan laut. Dimana terdapat ekosistem yang besar di dalamnya,” ujarnya. Senin (17/10).
Ia lalu menambahkan, jika sumur-sumur gas yang ada pasti akan kering pada waktunya. “Lalu, bagaimana cara mengembalikan alam laut kita yang sudah kadung di bor dan di sedot kandungan minyak dan gasnya. Tentu itu menjadi pertanyaan besar?” terang Suyitno.
“Sederhananya, ibarat tulang sumsum kita di sedot setiap hari maka barang tentu tulang kita akan keropos. Tidak jauh berbeda ketika laut kita di sedot setiap hari kandungan minyak dan gasnya, karang-karang akan mati, ekosistem laut akan rusak,” geramnya.
Aktivis muda asal Giligenting itu kemudian menekankan, “buat apa dan siapa alam kita dirusak jika tidak mampu menekan angka kemiskinan dan perekonomian masyarakat sekitar perusahaan Migas berada,” tanya Ayi, panggilan akrabnya.
Di akhir perbincangan dengan penulis, pemuda lulusan kampus cemara tersebut menyampaikan sikap tegasnya. “Lebih baik perusahaan Migas yang ada di Sumenep hengkang saja daripada menjadi kutukan bagi masyarakat Sumenep,” tegasnya.
Ayi pun berjanji ia bersama Aliansi Progresif Sumenep akan tetap konsisten mengawal persoalan disparitas Kepulauan, yang menurutnya imbas dimiskinkan perusahaan Migas. “Karena bagi kami ini adalah jihad,” pungkasnya.