SuaraMadura.id – Genangan air yang membunuh busi. Bubur-bubur tanah liat yang memualkan sendi-sendi. Onggahan batu yang berbunyi gardem-gardem. Curang curam singamatkattor roda-roda menjadi hiasan terindah lintas Cellong Arjasa.
Bukannya kami tidak bersyukur…
Tapi janji kemajuan sudah kadung meluncur. Sementara, kenyataannya lintasan itu masih saja hancur.
Seakan harapan terkubur, lisan jadi ngelantur ocehan pun meluncur.
Bila kampanye datang penuh sopan, janji kemakmuran dihambur-hamburkan.
Tapi bila kursi-kursi duduk bersila, kemakmuran itu entah milik siapa.
Bukan bubur tanah liat yang ku keluhkan, tapi kepedulian dewan yang ku pertanyakan.
Bukan hamburan kerikil yang menjengkelkan, tapi CV termurah yang menjadi pilihan.
Bukan rontoknya sendi-sendi yang ku tangisi, tapi empati bupati yang ditutupi.
Bukan ngatatornya ban yang membuat bibir meringis, tapi janji-janji manis yang melahirkan kencing manis.
Bila kemerdekaan segala hak bangsa, lalu kenyamanan jalan hak siapa?
Bila kenyamanan jalan hak rakyat, lalu rakyat yang mana?
Ingin ku bertanya pada rumput yang bergoyang, tapi angin bilang….
Percuma bila hati terkunci bahkan mati.
Lalu kepada siapa kami mengadu bila sudah tertutup semua pintu…
Biarlah batu-batu songlor yang kelak berbicara tentang sendal-sendal yang putus entah sudah berapa.
Tentang benjolan-benjolan tubuh yang membentur sepanten…
Tentang darah-darah yang tumpah terpeleset ketanah…
Tentang segala ketidaknyamanan karya wakil-wakil rakyat…
Kami akan tuntut dan gugat kalian kelak di akhirat, agar merasakan juga nikmatnya hidup melarat…
Karya : el Amirin (Ust. Hendri)
