Seni & Budaya

Kesenian Sumenep, Lapangan Kerapan Sapi dan Pasar Giling

1294
×

Kesenian Sumenep, Lapangan Kerapan Sapi dan Pasar Giling

Sebarkan artikel ini
Kesenian Sumenep, Lapangan Kerapan Sapi dan Pasar Giling
Lapangan Kerapan Sapi Giling, Sumenep Madura. Foto/Syaf Anton.

 

SuaraMadura.id – Salah satu kebanggaan Sumenep dan menjadi sorotan orang luar, ketika terdapat lapangan kerapan sapi dan dikembangkan menjadi trade mark kehidupan budaya di daerah ini.

Dari kebanggaan itulah pemerintah sempat membangun monumen dalam bentuk patung kerapan sapi dengan gagah berdiri di depan Lapangan Giling.

Namun monumen kerapan sapi itu roboh dan hancur, seiring robohnya keperhatian masyarakat dan pemerintah terhadap kehidupan kesenian di Sumenep.

Sejak itulah yang konon Sumenep disebut sebagai kota budaya, kota peninggalan sejarah, kota kearifan lokal, kota santri, kini telah berubah macam-macam istilah, dan istilah itu dibangun demi sebuah kepentingan sesaat.

Dan pada akhirnya Sumenep mulai kehilangan nilai-nilai budayanya.

Nah, bagaimana dengan lapangan kerapan sapi yang berlokasi di Kampung Giling, Pangarangan, Sumenep. Mungkin saat ini anda belum pernah menjejakkan kaki di arena ini. Luar biasa semrawutnya.

Tidak ada gambaran bahwa tempat ini sebagai kebanggaan masyarakat Sumenep. Tidak ada gambaran di tempat ini pernah rakyat bersuka cita berbondong-bondong memasuki arena ini, dengan menggiring sapi-sapi kerapannya dan diiringin musik saronen dan dengan bangga bersorak sorai memproklamirkan diri bahwa sapi mereka lah yang memiliki pasangan sapi jantan yang akan merebut juara.

Kini tidak ada lagi, kecuali raung kodok dan desis ular yang siap membisingkan hati Anda.

Mengapa? Karena di arena ini telah menjelma jadi pasar, dengan segala aromanya, dengan hamburan sampah-sampahnya yang tentu akan menjijikkan para pendatang ke daerah ini, apabila bagi para pelancong wisata yang memuja-muja keindahan Sumenep menjadi destinasi wisata andalan.

Apa anda masih ingat, ketika pendekar sapi kerapan mendeklamasikan ucapan lantang “Lok-olok” yang menjadi sebuah kebanggan rakyat, namun puisi tidak lagi terdengar semangatnya, kecuali slogan-slogan janji politik yang bertebaran se antero kota

Baca dan resapi lok-olok ini.

Bâjâ mangkèn dung-ondung arè Nèmor kara, bentar tongghâ’ dalem aèng
Kaulâ andi’ bur-lèburan duwa’ Nè’-kenè’ cabbhi lètè’
Moghâ dhaddhi sampornana
Ka sè nanggâ’ sareng sè nèngghu
Ka sè etanggâ’ sareng sè ètèngghu
Sè panglowar è sebut sè Kembhâr
Sè pangdâlem ajâjuluk sè Ghâmbhu

Adu tang ana’ sè sa pasang ana’ ghembâr rèmbi’ tabungkos Ètella’ temmo cèyaran
Ngabâs arè ta’ solap Nèddhâ’ teppong ta’ alampat

Adu kacong buwâna atè
tadâ’ bhunga andi’ ana’ kanṭa bâ’na
èabas dâri adâ’ gâgâ’ èabas dâri èrèng mantèrèng akanṭa arjuna kembhâr

Adu kacong, pola bâ’na
Atapa pèttobelâs taon è gunong Maraong
Salbhâk macan lopot.

Oleh: Syaf Anton (Budayawan Sumenep)