Hoax Dalam Mimpi
Oleh: Fauzi As.
Cerita ini jelas sekali, tetap utuh dalam memori, mengikat rasa di dalam hati.
Selasa, 5 Oktober 2021 sekitar jam 18.33
saya dihubungi oleh salah seorang teman, dia salah satu wartawan, sepertinya sekarang menjadi koordinator Media Center.
Iya, dia Lek Samsuni…
Samsuni menelepon saya untuk segera mendatangi rumah pribadi Bupati, dia menghubungi saya lewat telepon.
Katanya sang Bupati butuh bertemu. Dalam benak saya menduga, ini pasti urusan Pilkades Matanair, dengan nada serius Samsuni meminta saya untuk membawakan oleh-oleh batik sebagai cindera mata.
Dalam keadaan tergesa-gesa saya mengambil baju batik yang sudah dijahit sebelumnya, kotak kayu berisi batik sutra khusus Ibu Bupati pun tak lupa dibawa, setelah Samsuni memastikan beliau ada.
Belum selesai saya mengambil baju, Samsuni mengirim pesan lewat WA. Isi pesannya dia memastikan supaya saya datang sendirian. “Katibik ya mas, ditunggu.”
Malam itu saya meninggalkan beberapa tamu penting di Mami Muda, saya pamit karena ada urusan mendadak dan urgent.
Sesampainya di Istana, saya buru-buru memarkir mobil, kemudian setelah itu saya langsung diarahkan oleh salah seorang anggota Satpol PP untuk masuk menuju ruang tamu megah dengan lampu yang sudah diredupkan cahayanya.
Dalam ruang tamu yang megah, sudah ada Lek Oong, pimpinan salah satu media besar di Kabupaten Sumenep. Ada juga ketua organisasi media, bro Roni namanya, mereka bertiga sudah duduk santai lesehan dengan Bupati, nampaknya menunggu kedatangan saya.
Tak berselang lama kopi pun disajikan petugas hampir berbarengan dengan kemunculan Ibu Bupati yang akhirnya ikut nimbrung sambil melihat cindera mata batik sutera dalam kotak kayu, meski tampak biasa saja.
Teman yang ketua asosiasi wartawan nyeletuk ke Bupati, “coba dulu di pakai ukurannya pas atau tidak,” katanya dengan nada tidak serius.
Sang Bupati kemudian berdiri dan langsung mencobanya. Beliau membuka kancing baju batik itu satu per satu, “Pas” katanya singkat.
Setelah itu dia meminta Oong Kabiro Kabar, untuk mengambilkan Blangkon di sebelahnya, “mana ambilkan blangkon itu ong,” kata Bupati sambil menunjuk ke dekat Oong.
Blangkon itu ternyata warnanya seirama dengan warna batik yang saya bawa. Samsuni berkomentar, “bagus itu cocok dengan warna batiknya,” kata koordinator Media Center yang menatap serius tampilan Bupati.
Beliau lantas duduk kembali dan memulai pembicaraan serta memberikan penjelasan bahwa, urusan yang berkaitan dengan HAK keluarga, yaitu tentang inkracht-nya putusan pengadilan hanya tinggal menunggu waktu, “insyaallah tidak lebih dari satu bulan,” begitu janji Bupati.
Dilanjut cerita beliau kalau sudah memanggil dua orang pejabat dibawahnya guna menyiapkan kelengkapan persyaratan sesuai amanat Undang-Undang.
Singkat cerita Bupati lalu minta dibelikan nasi dan mengajak saya untuk makan bareng dengan menu lalapan favoritnya.
Memang kita ngobrol-ngobrol agak lama, tetapi malam itu dengan yakin dan percaya, saya pulang membawa hati lega. HAK yang selama ini diperjuangkan oleh keluarga besar sudah mendapatkan titik terang.
Cerita itu berlanjut pada tahapan menunggu waktu, hari berganti minggu, masuk hitungan bulan, dan tahun pun terlewatkan.
Meski seluruh dinamika tidak perlu diungkapkan, fakta digital lengkap menjadi catatan, saat hal itu akan dikenang sebagai bukti sejarah kekejaman pejabat 5.0.
Dan saya pun kaget karena jam weker tepat di samping kepala saya berdering nyaring.
Ternyata tadi saya hanya bermimpi, tangan tangan saya gemetar dilanjut melihat jam dan mematikannya.
Jam sudah menunjukkan 03.30, saya pun buru-buru ke kamar mandi mengambil wudu’ persiapan shalat subuh bersama.
Sumenep, 31 Desember 2022.
*Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis.