SUMENEP – Safari Kepulauan yang berlangsung pada tanggal 2-6 Juni 2022 kemarin menyisakan sejumlah cerita unik.
Diantaranya seperti yang dituangkan oleh Nur Kholis atau biasa dipanggil Nik, Jurnalis Kompas TV.
NYARIS BERMENTAL PEJABAT:
Safari kepulauan Bag 3
Jam 22.37 WIB, kami terjebak gulita di pelabuhan pulau Raas. Seluruh PJU mati. Bulan sabit sudah berakhir. Gemintang mulai menua dan angin laut, ampun-ampunan menghajar kami.
Kami bertiga, melangkah gontai menuju dermaga. Jalan rusak dan dingin yang mendera, seakan melengkapi derita yang kami rasa.
Setengah perjalanan, pembicaraan dan prilaku kami mulai di luar dugaan. Sesekali, diantara kami saling mendahului. Kadangkala, kami berteriak-teriak seakan saja sedang terjadi petaka.
Kami juga memaksakan diri untuk bercanda. Mulai dari yang paling narsis sampai yang bernuansa erotis. Segala cara kami lalukan. Harapannya agar tetap bisa berjalan.
Prilaku tak wajar ini, bukan tanpa sebab. Semua bermula dari gerutu kami yang mengarah pada niat untuk meniru mental pejabat(?). Katanya, pejabat selalu ingin dilayani dan “dituankan”. Di safari kepulauan, diduga ada beberapa OPD yang banyak membawa “ajudan”. Mungkin ingin dilayani agar tak kerepotan. Sabun mandi saja, musti ada yang membawakan. Nyaris kelewatan bukan?
Awalnya, suasana kecamatan sudah sangat sepi. Kami bertiga sempat planga-plongo, menahan kantuk sembari menunggu perhatian. Ternyata, sampai kami bosan, tetap tidak ada angkutan yang mengantar kami ke pelabuhan.
Padahal sebelumnya, rasa nyaman sempat kami rasakan. Misalnya dijemput dari pelabuhan menuju pendopo kecamatan. Disediakan makan dan sedikit hiburan. Sungguh itu melenakan.
Karenanya, kami ingin sekali diantar kembali dan tidak harus jalan kaki. Tapi Tuhan tidak ingin itu terjadi. Akhirnya kami harus sadar diri: bukan pejabat, jadi tidak boleh iri.
Mungkin saja, saat seseorang berada di zona nyaman, segala cara akan dia lakukan untuk bisa mempertahankan. Jangankan nama baik, prilaku keji pun, mungkin saja akan dia lakukan jika diperlukan.
Buktinya kami. Sebentar saja “dituankan”, kami jadi ketagihan. Akhirnya, berjalan kaki ke pelabuhan menjadi penuh gerutuan. Beruntung, di tengah perjalanan, kami berusaha berdamai dengan keadaan. Karenanya, prilaku dan candaan kami ancur-ancuran.
Sekali waktu, kami bertiga sempat ngakak menggebu-gebu. Ceritanya begini, ada besi pengikat di sebuah bilboard yang dihempas angin. Besi itu bergerak-gerak sendiri.
Karena malam hari dan suasana sepi, pikiran kami jadi penuh misteri. Tidak lama, salah seorang diantara kami mendekati muasal bunyi. Dia langsung mengangkat tangan ke langit dan membaca ayat kursi.
Sedangkan kawan yang lain, langsung menjaga jarak dan pasang kuda-kuda untuk berlari. Dia berpikir, yang dihadapi kami adalah mahluk astral. Misalnya sejenis kuntilanak menangis karena kesepian di pelabuhan.
Kami bertiga, punya respon yang berbeda. Satu mendadak jadi pendekar alam ghaib, satu lagi hendak lari terbirit-birit dan saya merasa sesak seperti terjepit.
Namun, setelah kami sadari, bahwa kehebohan ini hanya disebabkan oleh setangkai besi yang bergerak-gerak sendiri, dihempas angin pelabuhan, sumpah, kami ngakaknya bertubi-tubi.
Sejak kejadian itu, niat kami semakin kuat untuk untuk berdamai saja dengan keadaan. Jadi gelandangan tak jadi soal. Agar tak seperti oknum pejabat yang katanya tidak bermoral (?).
Sampai di dermaga, kami cerita kejadian singkat itu pada kawan-kawan yang telah lebih dulu sampai. Diantara kami bertiga, tidak sekalipun keluhan demi keluhan kami utarakan.
Pikiran untuk bermental pejabat, pelan-pelan terabaikan. Mungkin saja, ini terjadi karena kami jarang sekali “dituankan”. Jadi keinginannya mudah hilang.
Akan tapi kami berpesan, khususnya kepada OPD, jangan sampai safari kepulauan layaknya pribahasa, habis manis sepah dibuang. Kurang elok jika habis makan, pulang, lalu program kepulauan dibiarkan. Semua yang membaca catatan ini akan mengawasi. Awas saja jika tidak terealisasi.
Raas,
5 Juni 2022