Oleh: Nur Khalis
SuaraMadura.id – Pukul 09.18 WIB, saya dipaksa lagi untuk makan bersama oleh kawan-kawan kepulauan yang tertahan di terminal pelabuhan Kalianget, Kab. Sumenep, Senin (2/1). Mungkin mereka tetap menaruh prihatin. Sebab, setiap pagi, saya sering bertemu mereka dalam keadaan basah kuyup dan jelek.
Di hari yang lain, saya sudah tiga kali dipaksa makan bersama. Semua paksaan itu saya tolak dengan baik. Namun kali ini saya luluh juga. Tak enak hati jika menolak terus dengan alasan itu-itu saja.
Kami bersama-sama makan di meja; tempat biasa para petugas medis memeriksa warga kepulauan yang datang membawa keluhannya. Nasi yang saya makan ada sedikit bau tak sedap. Saya tetap berusaha lahap. Tidak sedikit pun berbicara. Untuk jaga-jaga, khawatir kawan-kawan kecewa. Lagi pula ini nasi bantuan.
Sembari makan, diantara mereka ada yang bercerita bahwa, setelah dua pekan tertahan di pelabuhan Kalianget, sebanyak 139 calon penumpang memastikan tidak pernah ditemui oleh Wakil Bupati Sumenep, Dewi Khalifah.
Mendengar kabar sederhana itu, saya sempat mendongakkan kepala. Perasaan tidak percaya muncul. Bahkan sempat ada niat untuk menuduh pembohong pada kawan yang menyampaikan kabar itu. Namun ternyata tidak.
Semua kawan, yang makan bersama sembari dijaga rintik hujan itu, membenarkannya. Mereka nyaris mengangguk bersama. Sampai hari ini, tidak sekalipun wakil bupati Dewi Khalifah datang ke terminal pelabuhan. Meskipun sekedar “say hi”.
Sikap kemanusiaan wakil bupati seperti sebuah anomali. Sebab, dulu sekali, wakil bupati dikenal sebagai “petarung politik asal kepulauan”. Bahkan, beliau dicap paling dekat dengan rakyat di sana.
Anomali ini, bagi saya, menarik dicatat sambil menunggu hujan reda. Misalnya, kita mulai dari pertanyaan sederhana: apa kiranya yang membuat wakil bupati belum berkenan ke terminal penumpang di Kalianget?
Kalau pun alasannya adalah jadwal ceremonial Pemkab, saya tidak percaya. Secara pribadi, saya pernah tahu beliau. Dulu, beliau cukup responsif. Selalu ada prioritas untuk warga kepulauan yang disandung musibah. Terlebih yang dirawat di daratan. Namun kali ini, ada anomali berbeda yang belum terpecahkan.
Mungkin saja, ratusan warga kepulauan ini bukanlah “komoditas” politiknya. Sehingga, meskipun sudah berhari-hari, tidak sekalipun warga kepulauan ditemuinya. Tapi dalam kerja kemanusiaan, apakah cap politik memang tetap harus didahulukan?
Lagi pula, sebagai orang yang ada dalam kekuasaan, semestinya memberi contoh bahwa kekuasaan tidak untuk mengkotak-kotakkan. Kekuasaan hadir untuk seluruh golongan. Termasuk menyegerakan seluruh niat yang telah diucapkan.
Semoga warga kepulauan bisa lupa bahwa wakil bupati, Dewi Khalifah, pernah berjanji hendak berkantor di sana. Semoga mereka juga bisa percaya bahwa dalam politik, semua manusia hampir sama saja(?)
Sampai hujan reda, bahkan hingga catatan ini nyaris rampung, saya masih bertanya-tanya. Jika selain jadwal seremonial pemkab dan sikap politik, kiranya apa alasan wakil bupati, Dewi Khalifah, tidak menemui ratusan warga kepulauan yang tertahan? Selain penasaran, saya juga mulai punya pandangan baru yang merendahkan. Salam.
Kalianget,
02 Januari 2023